Ukuran Dewasa dalam Perspektif Hukum

Penulis : Muhammad Sarkawi (2250300008)
 
Pengertian Dewasa

Dalam Kamus Besar Bahasa Iindonesia, dewasa memiliki beberapa arti, (1). sampai umur; akil balig (bukan kanak-kanak atau remaja lagi); (2). telah mencapai kematangan kelamin; (3). matang (tentang pikiran, pandangan, dan sebagainya). Dalam bidang ilmu psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia tigapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karier, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak.

Jika dilihat dari pengertian di atas, kedewasaan itu harus terpenuhi minimal dua unsur, yaitu fisik dan fisikis. Kedewasaan fisik dilihat dari perubahan bentuk tubuh dan berkembangnya alat reproduksi. Kedewasaan fisikis dilihat dari kemampuan berfikir dan nalar seseorang untuk bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang baik berdasarkan perintah agama maupun berdasarkan aturan hukum serta mandiri atau dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Dalam menentukan kedewasaan seseorang ada dua pendekatan yang sering dipakai, yaitu secara kualitatif dan secara kuantitatif. Pendekatan kualitatif yaitu menentukan seseorang dewasa secara subjektif, apakah ia telah matang secara fisik dan fisikisnya, sehingga ukuran dewasa setiap orang akan berbeda. Pendekatan secara kuantitatif dalam menentukan ukuran dewasa dihitung berdasarkan jumlah tahun atau usia.

Ukuran dewasa dengan pendekatan kualitatif, biasanya digunakan dalam hukum agama dan hukum adat sedangkan pendekatan kuantitatif banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan, hal ini bertujuan untuk kepastian hukum. Meskipun demi kepastian hukum, dalam peraturan perundang-undangan tidak mutlak menggunakan pendekatan kuantitatif, hal ini dapat kita lihat ketika seseorang yang sudah menikah atau pernah menikah meskipun belum sampai pada jumlah/batas usia yang ditentukan, maka ia dianggap dewasa, begitu juga dengan seseorang yang sudah melebihi jumlah/batas usia dewasa akan tetapi jika ia tidak bisa mengurus dirinya/ tidak mandiri, tidak bisa membedakan yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, yang boleh dengan yang dilarang maka ia dianggap belum dewasa atau cakap hukum.

Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam menentukan seseorang cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum.

Ukuran Dewasa menurut Ketentuan Hukum

Pada dasarnya manusia bebas untuk melakukan dan bertindak dalam hal apa saja dalam memenuhi keinginannya akan tetapi, karena tindakan dan keinginan manusia itu tidak bisa dibatasi maka dibuatlah aturan hukum untuk melindungi hak-hak manusia itu sendiri. Berdasarkan hal tersebutlah maka muncul azas atau kaidah yang mengatakan semua boleh dilakukan kecuali yang sudah ditentukan oleh aturan hukum. Ukuran kedewasaan yang merupakan ketentuan untuk cakap bertindak hukum pada dasarnya bukan untuk membatasi seseorang dalam bertindak akan tetapi untuk melindungi hak-hak orang yang belum matang secara fisik (anak-anak dan remaja) dan fisikis (cacat mental, gangguan kejiwaan atau dalam pengampuan).

Dalam peraturan perundang-undangan, ukuran dewasa atau berakhirnya masa anak-anak dengan batas usia 21 tahun terdapat dalam beberapa aturan, diantaranya: (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata pasal 330: “Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah pernah menikah”. (2) Undang Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pasal 1 angka 2: “Anak adalah seseorang yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin”. (3) Kompilasi Hukum Islam, pasal 98 ayat 1: “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.

Ukuran dewasa atau berakhirnya masa anak-anak dengan batas usia 18 tahun terdapat dalam beberapa aturan, diantaranya: (1). Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan ada dibawah orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya”. (2). Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 angka 5 “Anak adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 tahun dan belum menikah…” (3). Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 angka 26 “Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun”. (4). Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pasal 1 angka 5 “Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun…” (5). Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornograpi, pasal 1 angka 4 “Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun” (6). Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 tahun 2012 tentang Rumusah Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, disepakati bahwa batas usia dewasa adalah 18 tahun.

Jika dikaitkan dengan azas hukum lex posteriori derogat legi priori yang artinya peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu, maka tidak ada lagi penafsiran selain usia dewasa itu sejak 18 tahun keatas atau sudah pernah menikah dan usia anak adalah dibawah 18 tahun serta belum pernah menikah. Berarti secara umum pengertian dewasa itu sejak berusia 18 tahun atau sudah pernah menikah, hal ini juga berlaku dalam hal kecakapan bertindak secara hukum.

Dalam hal kecakapan bertindak secara hukum ada beberapa perbedaan batas usia dan ini merupakan kekhususan dalam hal tertentu. Hal ini sesuai dengan azas hukum lex specialis derogar legi generalis yang artinya peraturan perundang-undangan yang bersifat lebih khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum. Ada beberapa contoh kekhususan dalam kecakapan melakukan perbuatan hukum, diantaranya: (1) untuk melangsungkan pernikahan harus berusia menimal 19 tahun, hal ini tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 16 tahun 2019 pasal 7 ayat 1. (2) untuk menjadi anggota partai politik harus berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah, hal ini diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. (3) untuk ikut memilih harus berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah, hal ini diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD dan dalam UU Nomor 42 tahun 2008, UU Nomor 8 tahun 2017. (4) untuk dapat atau wajib memiliki KTP sejak berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah, hal ini diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa usia dewasa dan kecakapan bertindak secara hukum adalah 18 tahun atau sudah pernah menikah. Secara khusus, kecakapan bertindak secara hukum bisa keluar dari ketentuan usia 18 tahun apabila ada aturan khusus yang secara jelas menyatakan bahwa perbuatan tertentu harus memenuhi batas usia tertentu. Hal ini sejalah dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 yang mengatakan “penentuan mengenai batas usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum tidak dapat ditentukan pada usia yang sama tetapi ditentukan berdasarkan undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya dalam konteks perkara yang bersangkutan (kasuistis)”.

Ketentuan ukuran dewasa berdasarkan putusan pengadilan juga ditemukan perbedaan antara putusan yang satu dengan putusan lainnya. Perbedaan batas usia tersebut dipengaruhi karena adanya kebebasan hakim untuk menafsirkan atau keluar dari atauran yang ada jika kondisi yang dihadapi tidak relepan lagi dengan aturan yang berlaku. Tugas Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas melalui perkara-perkara yang diajukan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.

Banyak putusan pengadilan yang menyebutkan batasan usia dewasa itu 21 tahun, banyak juga menyebutkan 18 tahun dan bahkan banyak pula ditemukan ukuran dewasa itu secara kualitatif, sehingga dalam putusannya hanya menyebutkan sampai anak dewasa atau mandiri. Hakim/ Majelis Hakim sah-sah saja menentukan ukuran dewasa itu berpariatif, akan tetapi dalam pertimbangan hukumnya harus dijelaskan kaidah, azas atau norma apa yang dipakainya untuk mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak sehingga putusan tersebut keluar dari teks hukum yang sudah ada.