Dalihan Na Tolu sebagai Pendidikan Karakter

Penulis : Daud (2250100056)
 

Moral dan sikap penerus bangsa era Globalisasi ini mengalami degradasi atau kemerosotan yang cukup signifikan sehingga perlu adanya sebuah terobosan baru dan meyakinkan sehingga degradasi moral anak bangsa semakin menipis atau bahkan agar tidak terjadi lagi. Degradasi moral ini sudah terjadi sekian lama di Indonesia baik itu skala lokal ataupun nasional, pelaku atau korban degradasi moral ini lintas suku, budaya dan agama, mulai dari adanya pelaku yang secara kedudukan adalah sebagai anak ulama, pejabat, atau guru sekolah dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa kemerosotan itu terjadi dalam skala menyeluruh dan bukan hanya terjadi dalam beberapa kalangan.

Menurut Syamsul Ma’arif (kompas.id) bahwa faktor utama dari menurunnya moral dan sikap generasi muda yang baik adalah karena perkembangan zaman yang tidak dapat terbendung dan terarah sehingga menyebabkan polarisasi terhadap budaya baru dalam lingkungan anak muda dalam kehidupan sosialnya, semisal dengan adanya sistem elektronik yang terbuka dan telah menjadi kebutuhan. Begitu pula yang dilansir dari republika.co.id, bahwa degradasi moralitas anak bangsa telah menerobos kepada masalah kriminalitas yang cukup banyak dan terjadinya hubungan tanpa nikah secara terbuka, dan kekerasan terhadap lawan jenis.

Solusi yang dapat dilakukan dalam meminimalisir degradasi moral anak bangsa dapat dilakukan dengan kearifan lokal masyarakat setempat, misalnya dengan melakukan polarisasi pendidikan berbasis karakter dengan penguatan kearifan budaya lokal (Haidar Putra Daulay, 2016). Terobosan baru yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan melakukan pembaharuan kurikulum sejak dahulu walaupun dalam masalah ini mengalami kontroversi karena tidak pernah berhasil dalam solusi akan karakter anak bangsa yang seakan-akan terus mengalami kemerosotan. Hal tersebut tertuang dalam Kurikulum Merdeka yang memiliki enam poin utama sebagai bentuk pendidikan karakter yang dapat dilaksanakan dalam lembaga pendidikan nasional.

Pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka terdiri dari enam poin utama yang disebut dengan “profil pelajar pancasila”, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, berbalar kritis, dan kreatif. Profil pelajar pancasila menjadi bentuk tafsir dalam penerapan pola pendidikan karakter sehingga dapat mencapai kebutuhan dan tujuan pendidikan yang diinginkan skala nasional dan lokal. Sehingga dipahami bahwa dalam penerapan pendidikan karakter itu tidak hanya dapat dilakukan pada lembaga pendidikan semata, karena melalui kearifan budaya lokal dapat dilakukan polarisasi adat istiadat masyarakat, dan hal ini dipahami lebih bermakna karena terjadi secara langsung dalam kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk kearifan lokal yang dapat menjadi bentuk pendidikan karakter adalah melalui falsafah budaya masyarakat Angkola-Mandailing yaitu Dalihan Na Tolu.

Dalihan Na Tolu menjadi salah satu sistem kekerabatan masyarakat Batak dan menjadi cerminan suatu sistem kehidupan dan falsafah kehidupan masyarakat yang secara langsung tertanam dalam keberagaman masyarakat Angkola. Secara bahasa, Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga makna yaitu dalihan (tungku), na (yang), dan tolu (tiga), berarti tungku yang memiliki tiga kaki atau tungku yang mempunyai tiga kaki yang terbuat dari batu (T.M Sihombing, 2000). Sistem Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga struktur yaitu Mora, Kahanggi dan Anak Boru yang memiliki tugas dan fungsinya masing-masing.

Kedudukan ketiga struktural Dalihan Na Tolu ini memiliki istilah yang lazim dipahami dalam kebiasaan adat istiadat Batak, yaitu tertanam dalam falsafah “Hormat Marmora, Manat Markahanggi, Elek Maranak Boru” yang memiliki makna bahwa anak boru harus memiliki rasa hormat apabila berjumpa atau berhadapan dengan mora-nya, dan mora harus memiliki sikap dan sifat yang mampu memberikan rasa kasih saying terhadap anak boru dan pandai membujuk sehingga anak boru memiliki sikap loyalitas terhadap mora-nya. Kemudian, sesama saudara kandung atau semarga harus hati-hati dalam bersikap karena memiliki kedudukan yang sama dalam kehidupan sosialnya (Sumper Mulia Harahap, 2015).

Sistem Dalihan Na Tolu sebagai kearifan lokal mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Mora sebagai pemberi pengayoman terhadap anak boru-nya, dan kahanggi berperan sebagai penanggung beban (duka dan derita), berat sama dipikul ringan sama dijinjing, kemudian anak boru siap berkorban kepada mora-nya, baik itu dalam situasi dan kondisi apapun sehingga mora mempunyai kekuatan besar dalam menjadikan anak boru-nya loyal atau tidak (Abbas Pulungan, 2018).

Sistem Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan mempunyai ikatan kuat dalam menciptakan pola pendidikan masyarakat secara umum, salah satunya adalah dalam pendidikan karakter anak bangsa, apalagi falsafah tersebut tida terikat secara khusus namun mempunyai makna yang dalam. Bentuk paling relevan dari adanya falsafah ini adalah dengan menjadikan semua struktur sosial samarata-samarasa. Penegak fungsi paling tinggi adat istiadat dilakukan oleh pihak hatobangon (orang yang dituakan) yang mempunyai peranan penting dalam menasihati, mengarahkan, dan melakukan bimbingan kepada masyarakatnya.

Pendidikan karakter tercermin dalam jiwa dan falsafah Dalihan Na Tolu yang mempunyai makna terkait dengan kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan adanya kepedulian terhadap sesama dan kekerabatan yang kuat. Peran dan fungsi itu dilakukan dengan sistem gotong royong, saling melengkapi dan saling menguatkan satu sama lain, sehingga apabila salah satu kaki tungku itu rusak maka tidak ada keseimbangan atau mengalami kegoyahan di dalamnya. Dengan demikian, perlu saling menguatkan, melengkapi dan saling pengertian sehingga tercipta ikatan kuat di dalamnya. Sebagai pelengkap dalam falsafah Dalihan Na Tolu salah satu falsafah yang sudah mulai meluntur namun kuat dalam pola pendidikan karakter adalah “sa anak sa boru” yang memberikan cerminan kuat dalam saling menjaga dan saling mendidik diantara masyarakatnya. Sehingga tetap terjaga generasi yang beriman, kuat, berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan dapat menjaga budayanya.