Politik Pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam

Penulis : Usman (2250100032)
 
A. Politik Pendidikan Islam

Politik diambil dari kata “politic”, yaitu digunakan dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan seseorang. Menurut kamus, berarti bertindak atau menilai dengan hati-hati, bijak, dan hati-hati..(AS 1974, 645). Kata politik juga diambil dari bahasa Yunani yaitu “politicos”, berarti “terkait dengan warga negara”. Kata “polis” juga berasal dari kata “kota”, yang berarti “kota.” Kemudian dalam bahasa Indonesia, “politik” berarti segala hal dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) yang berkaitan dengan pemerintahan suatu Negara atau terhadap Negara lain, termasuk tipu muslihat atau kelicikan. Selain itu, itu juga digunakan sebagai sebuah disiplin pengetahuan, “ilmu politik”..(Bahasa 1988, 694).

Deliar Noer menjelaskan politik sebagai segala tindakan atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan bertujuan untuk mempengaruhi, dengan mengubah atau mempertahankan, suatu struktur masyarakat.(Noer 1982, 11–12) Berbeda dengan Deliar Noer, Miriam Budiardjo mengatakan bahwa politik (politik) adalah berbagai kegiatan yang terlibat dalam suatu sistem politik (atau negara), termasuk proses menentukan dan melaksanakan tujuan sistem..(Budiardjo 1982, 8).

Politik berasal dari bahasa Inggris “politic”, yang berarti “bijak” dan “sensible”, yang berarti “tindakan, kebijaksanaan, bijaksana, atau kebijakan.”.(Hoddin 2020) Para tokoh berbeda pendapat tentang terminologi. Roger F. Soltou, yang dikutip oleh Budihardjo, menyatakan bahwa ilmu politik adalah bidang yang mempelajari negara, tujuan negara, dan lembaga yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tersebut. Hubungan antara negara dan warganya serta dengan bangsa lain merupakan bidang studi lain dalam ilmu politik. Menurut J. Barents, ilmu politik adalah bidang yang mempelajari bagaimana masyarakat dan negara berinteraksi satu sama lain.(Hoddin 2020).

Ada dua kecenderungan untuk mendefinisikan politik dari banyak definisi yang ada. Pertama, perspektif yang berkaitan dengan politik negara, yaitu masalah pemerintahan pusat atau daerah. Kedua, perspektif yang berkaitan dengan kekuasaan, otoritas, dan atau konflik..(Isaac 1981, 15–16).

Namun, kata “pendidikan” berasal dari kata “didik”, yang berasal dari awalan “pen-” dan akhiran “-an,” dan berarti “perbuatan, hal, atau cara.”.(Nata 2003, 8) Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk seluruh potensi bagi pertumbuhan anak, yang berarti bahwa pendidikan mengembangkan segala kekuatan yang dimiliki anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai tujuan hidupnya.(Sayuti 2006).

Maka politik Pendidikan akan mencakup semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah suatu negara tentang kebijakan dalam penyelenggaran pendidikan, seperti peraturan -peraturan dalam lembaga pendidikan atau lainnya, yang digunakan untuk mengatur pendidikan untuk mencapai tujuan negara yang akan dicapai.(Rahim 2006, 9). Bagian yang mendasar dalam pengembangan potensi manusia (al-hâjat al-asasiyyah) adalah pendidikan, selain yang harus dipenuhi oleh semua orang, seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan tempat tinggal.
Pendidikan merupakan bagian komponen dari permaslahan politik (siyâsah), yang merupakan sebagai ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi negara.

Maka untuk memahami hal mendasar ini, ideologi (pandangan hidup) suatu negara sangat mempengaruhi politik pendidikannya (siyâsah atta‘lîm). Ini adalah salah satu komponen untuk menentukan karakteristik kepribadian dan tipologi dalam masyarakat yang dibentuknya. Oleh karena itu, politik pendidikan bisa difahami peta atau alur rencana pendidikan yang dibuat oleh pemerintah negara untuk mengembangkan dan meningkatkan sumber daya manusia yang diinginkan. Menurut Supriyoko dan Ali Mahmudi Amnur, ada empat defenisi tentang politik pendidikan. Yang pertama adalah cara untuk saling mempengaruhi orang lain dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan tersebut. Yang kedua adalah tentang apa saja cara-cara yang harus dilakukan dalam pencapaian tujuan Pendidikan tersebut. Yang ketiga adalah tentang hal-hal apa saja untuk sampai kepada tujuan tersebut, seperti kebijakan anggaran, kebijakan aturan, dan semangat partisipasi masyarakat.(Amnur, n.d., 5).

Politik pendidikan memainkan peran penting dalam pengembangan jalannya pendidikan nasional. Pemikiran dan ide-ide politik pendidikan yang akan dibentuk dan dicapai dalam pendidikan akan menjadi ide-ide yang kokoh, yang kuat dan tepat dalam kebijakan pengembangan pendidikan. Ini akan menghasilkan sistem pendidikan yang mencerahkan bagi kehidupan masyarakat. dapat melahirkan produk pendidikan yang berkualitas juga dapat diakui secara intelektual dan sosial. Politik pendidikan juga akan melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan lebih bermoral dan beradap untuk kemajuan negara.

B. Politik Pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Berawal sejarah krisis moneter yang melanda ekonomi Indonesia pada tahun 1998 dan mengakhiri pemerintahan presiden Soeharto. Selama periode yang dikenal sebagai “masa reformasi”, kebebasan berdemokrasi secara keseluruhan terbuka luas, kurang kebih 32 tahun telah dipertahankan, gerakan reformasi mendesak untuk penerapan demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan perlindungan hak-hak manusia dalam kehidupan nasional dan internasional. Prinsip-prinsip ini akan berdampak besar pada sistem, prosedur, manajemen, dan teknologi yang mengalami perkembangan. Perubahan yang terjadi akan menciptakan kebutuhan baru di setiap lini kehidupan, termasuk dalam pengelolaan berjalannya sistem pendidikan nasional.

Banyak pengamat di bidang pendidikan mengkritik UUSPN nomor 2 tahun 1989 setelah istilah “reformasi” dicetuskan pada tahun 1998. Bahwa banyak Upaya-upaya dilaksanakan untuk mencetuskan UU No 20 tahun 2023 tentang system Pendidikan nasional dalam menggantikan Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional di masa reformasi tersebut bahwa banyak kalangan menganggap system undang-undang Pendidikan tersebut sudah tidak relevan.

Undang-undang No 20 tahun 2003 tersebut memunculkan banyak ide baru diantaranya siswa peserta didik dalam lembaga/satuan pendidikan berhak dan wajib mendapatkan pendidikan agama berdasarkan agama yang dianutnya dan dibimbing oleh guru agama yang seagama, hal ini dijelaskan pada Pasal 12 ayat 1 Undang-undang No 20 tahun 2003 tersebut, tentunya ini merupakan semangat baru untuk pembangunan pengembangan pendidikan nasional, dan termasuk untuk pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Pada tahun 2013 melalui Undang-undang nomor 20 tahun 2003 sangat bermakna dan aplikatif yaitu dengan dicetuskan salah satu model atau konsep kurikulum yang lebih dikenal dengan Kurikulum 2013 (KURTILAS) dalam pengembangannya mulai tahun 2013. Dalam Peraturan Nomor 64 Tahun 2013 menuangkan tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah dengan menetapkan Kompetensi Inti, terkhusus KI 1 (Sikap Kerohanian Terkait Nilai) dan KI 2 (Sikap Sosial). – sangat erat hubungannya kepada nilai pendidikan Islam, khususnya pengembangan habl min Allah dan pengembangan habl mi al-nas.

Dengan dinamika politik Pendidikan yang terjadi memunculkan kebijakan -kebijakan baru sejak diberlakukannya masa reformasi, tentunya ini sangat menguntungkan bagi Pendidikan islam secara khusus, dan ini tidak bisa terlepas dari mereka pemegang kebijakan salah satunya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI) yang mempunyai kepedulian terhadap Pendidikan islam dan juga tidak bisa dipungkiri khususnya bagi mereka yang berasal dari partai berbasis keagamaan .(Hoddin 2020).

Pendidikan nasional itu harus merujuk dan bersesuaian dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan harus mengikuti dan tanggap dengan kebutuhan perubahan zaman dan juga harus berakar pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa Indonesia sangat sesuai dengan UU No 20 tentang Sisdiknas tahun 2003 tersebut, pada Pasal 1 Ayat 2. Tujuan Pendidikan itu juga adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan amanat UUD 1945. Maka tujuan Pendidikan yang hendak dicapai juga harus bersesuaian dengan kepentingan bangsa Indonesia saat sekarang ini dan harus tertuang dalam Peraturan Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas) tersebut.

Sedangkan pendidikan Islam adalah suatu jenis pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan dengan terencana juga sistematis yang bermaksud untuk meningkatkan potensi peserta didik berdasarkan nilai dan prinsip keislaman. Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah mencapai keseimbangan keilmuan dalam perkembangan individu manusia secara keseluruhan, yang dapat dicapai melalui pelatihan yang diberikan pada otak, pengetahuan, perasaan, penelitian otak, dan panca indera. Sangat menarik membicarakan Islam dalam pendidikan, khususnya dalam hal pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan potensi seseorang dalam segala aspek, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, meskipun sebenarnya Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis dan mendasar ketika dipandang dari sudut ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

Sejarah pendikan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan penyebaran Islam di indonesia. Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, pendidikan Islam dikembangkan melalui cara informal (Daulay merujuk Samrin, 2015). Yaitu pengajaran islam melaui jalur perdagangan (teori Gujarat) yaitu menyiarkan dan memberikan pemahaman Pendidikan agama melaui hubungan antara seorang pedagang dan seorang pembeli. Di mana penanaman Pendidikan agamanya lebih fokus pada konsep tauladan yaitu dengan mencerminkan sikap yang baik terhadap pembeli.

Pendidikan Islam mulai memperluas tempat pengajarannya setelah ajaran agama ini mulai menyebar. Hal ini sesuai dengan pendirian surau, langar, atau musholla, serta masjid sebagai tempat memberikan pengajaran yang tidak terbatas diluar pendidikan keluarga. Sekolah yang diberikan sangat sederhana, dan inilah yang memulai sistem sekolah pesantren dan pendidikan formal seperti madrasah. Seiring dengan berkembangnya zaman dan perpindahan kebijakan kekuasaan Pendidikan Islam secara bertahap mulai bersentuhan dengan sistem Pendidikan formal yang tepat yang semakin terkoordinasi dan sistematis juga teratur tanpa henti seiring berjalannya waktu dan perubahan kekuasaan di Indonesia.

Arah dan tujuan pendidikan Islam niscaya akan terpengaruh oleh perubahan ini; Pendidikan Islam tidak hanya berkonsentrasi pada agama, tetapi juga sudah mulai berkonsentrasi pada ilmu-ilmu lain. Usaha untuk pembaharuan Pendidikan islam itu sangat tampak jelas dengan peralihan pendidikan surau, langgar, atau mushala, dan mesjid ke madrasah, pesantren, atau yayasan-yayasan atau Lembaga Pendidikan yang berdasarkan keagamaan. Dengan sistem pendidikan yang lebih maju dan modern sudah mulai dimanfaatkan. Madrasah Adabiyah di Padang mencontohkan peralihan dari pendidikan Islam tradisional ke pendidikan Islam kontemporer atau modern. Yaitu tidak hanya ilmu agama dan Al-Qur’an saja yang diajarkan di dunia pendidikan sebagai pelajaran wajib, tetapi juga juga diajakan ilmu-ilmu Pendidikan umum.(Nata 2003).

Kemudian system Pendidikan islam juga sudah banyak mengalami perkembangan yang dapat digambarkan sebagai berikut :

  1. Orientasi menggambarkan bahwa pendidikan Islam di Indonesia sudah banyak mengalami perkembangan dan bertransformasi yang signifikan. Pada awalnya, fokus pendidikan Islam adalah hanya urusan ukhrawiyah. Hukum waris adalah satu-satunya urusan mu’amalat yang paling banyak dibahas setelah urusan duniawiyah.
  2. Strategi, seiring dengan perkembangan orientasi, strategi pendidikan Islam di Indonesia pada awalnya juga berhadapan dengan pemerintah kolonial. Pendidikan Islam pada saat itu diasingkan karena kemungkinan dampak negatifnya terhadap kepentingan politik Hindia-Belanda.
  3. Di Indonesia, sumber belajar pendidikan Islam terus mengalami perubahan dan perkembangan yang semakin beragam dan intensif, baik dari segi jumlah maupun kualitas pendidikan yang diberikan.
  4. Metodologi pendidikan Islam pada awalnya masih klasik, tetapi sekarang mulai tampak berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan, seperti kelompok diskusi sudah mulai dikembangkan dimana-mana, media pembelajaran yang juga semakin berkembang dan diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkat kematangan berfikirnya.

C. Kedudukan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

Sebenarnya sistem pendidikan Islam Indonesia tidak dipilih oleh sistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan umum mengacu pada manusia sebagai siklus manusia yang menunjukkan rasionalitas penalaran sebagai makhluk yang cerdas dan bijaksana, dan sebagai interaksi manusia yang diperlengkapi untuk menyelesaikan kewajibannya dan bekerja sepenuhnya sebagai pemegang perintah logika berfikirnya. Indonesia, meskipun secara eksplisit dinyatakan bahwa itu bukan negara agama.(Fathurrahman 2002, 102) dan juga bukan Negara yang sekuler.(Ali 2022).

Indonesia sebagai negara pancasila. Bahtiar Effendi mengatakan bahwa Indonesia berada di tengah-tengah negara agama dan sekuler. Ayat 1 menegaskan bahwa Negara Indonesia tidak sebuah negara agama yang berdasarkan agama tertentu dan juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, berdasarkan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945. Setiap warga negara Pancasila bebas untuk memeluk agamanya, tetapi juga dituntut untuk menjunjung tinggi akhlak mulia yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Meski Fuat Hasan mendukung status Pancasila, pemerintah Indonesia tetap harus mengakui agama sebagai sumber nilai yang valid.

Sesuai Pasal 3 Peraturan No. 20 “Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” Bab II UU 20 Tahun 2003. Potensi peserta didik harus dilatih agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mempunyai akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, hal ini merupakan tujuan dari pendidikan nasional tersebut.(2003 2006, 58).

Terlihat bahwa nilai Pendidikan agama dalam Pendidikan sangat berperan ketika membahas tujuan dan fungsi pendidikan secara nasional. karena pendikan agama berperan dalam pengembangan individu yang bermoral lurus, saleh, dan beriman. Yunus Hasyim Syam mengutip Malik Fajar yang mengatakan bahwa pendidikan adalah mata pelajaran yang tidak pernah berakhir karena memberi makna dan cara yang wajar bagi manusia untuk menjalani keberadaan bawaannya. Dalam UU Sisdiknas tahun 2003, Pendidikan Agama Islam menempati posisi sebagai berikut:

  1. Pendidikan dalam Pasal 1 ayat (1) diartikan sebagai: Suatu pekerjaan yang disadari dan diatur dan menumbuhkan pengalaman belajar sehingga peserta didik secara efektif menumbuhkembangkan kemampuannya untuk memiliki kekuatan, kebijaksanaan, budi pekerti, budi pekerti luhur, dan pribadi yang teguh. kemampuan yang diperlukan tanpa orang lain, masyarakat, negara dan negara.
  2. Pasal 1 ayat (2) Pendidikan nasional mencirikan: Pendidikan harus berlandasakan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berwawasan ketatanegaraan, budaya masyarakat, dan selalu tanggap terhadap pertukaran dan perubahan zaman, juga Pendidikan harus melibatkan agama sebagai tujuan (supaya siswa mempunyai hubungan batin yang teguh) dan sebagai sumber yang sangat berharga dalam proses Pendidikan umum.
  3. Pasal 4 ayat (1). Menurut ayat (1) Pasal 4, pendidikan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai agama dan budaya, kemajemukan bangsa, dan keadilan tanpa diskriminasi.
  4. Pasal 12 ayat (1). Semua peserta didik dalam setiap satuan pendidikan mempunyai hak memperoleh pendidikan agama dari guru atau pendidik yang seagama dengannya sesuai dengan agamanya. Setiap peserta didik berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan dibimbing oleh pendidik yang seagama dengannya. Perbedaan agama tidak boleh diperlakukan berbeda di sekolah.
  5. Pasal 15. Pasal 15 mengacu pada semua lembaga pendidikan, termasuk pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
  6. Pasal 17 ayat (2). Pendidikan dasar terdiri dari sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah menengah pertama (SMP), atau struktur pembanding.
  7. Pasal 18 ayat (3). Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs).
  8. Pasal 28 ayat (3). Taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk serupa lainnya digunakan untuk mendidik anak usia dini di jalur pendidikan formal.Pendidikan agama adalah salah satu kategori pendidikan nasional. Setingkat taman kanak-kanak (TK) disebut raudatul athfal (RA), sekolah dasar (SD) disebut madrasah ibtidaiyah (MI), sekolah menengah pertama (SMP) disebut madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (SMA) disebut madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK) disebut madrasah aliyah kejuruan (MAK).
  9. Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan. (1) Pendidikan agama diselenggarakan oleh pemerintah, kelompok pemeluk agama, atau masyarakat secara hukum. (2) Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan siswa untuk menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan ajaran agamanya, serta untuk menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan agama dapat diberikan secara formal, nonformal, atau informal. (4) Pendidikan agama dapat diberikan dalam bentuk diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan metode lainnya. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan agama. Di samping sekolah/madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, dan MAN, masyarakat juga dapat menyelenggarakan pendidikan agama. Jenis pendidikan ini dapat formal, seperti pesantren, madrasah, nonformal, seperti taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), majlis taklim, atau informal.
  10. Pasal 36 ayat (3). Kurikulum pendidikan disusun dan diselenggarakan menurut jenjang pendidikan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mempertimbangkan dan memperhatikan pembinaan ketakwaan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta serta penanaman nilai akhlakul karimah.
  11. Pasal 37. (1) kurikulum pendidikan sekolah dasar dan menengah wajib memuat kurikulum Pendidikan keagamaan dan kewarganegaraan. (2) kurikulum perguruan tinggi harus memuat kurikulum Pendidikan agama, kewarganegaraan dan kurikulum Bahasa.
  12. Pasal 55 ayat (1). Sesuai dengan Pasal 55 Ayat (1) Pendidikan dengan berbasis masyarakat atau Daerah, masyarakat atau daerah setempat diberi hak istimewa untuk menyelenggarakan sekolah berbasis daerah setempat, baik formal maupun nonformal, sesuai dengan kekhasan agama, sosial, dan budayanya untuk mendukung kehidupan daerahnya. Pasal-pasal ini menetapkan sekolah Islam sebagai komponen dari sistem sekolah umum. Penjelasan yang diberikan oleh pasal 15 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pendidikan agama adalah program pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mengajarkan peserta didik untuk menjadi ahli dalam ilmu agama atau menjalankan peran yang memerlukan pengetahuan ajaran agama. Regulasi Sistem Pendidikan nasional 2003 merupakan usaha pemerintah untuk menggarap pembinaan Pendidikan islam di Indonesia, namun ada beberapa pasal yang belum berhasil dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah secara konsisten seperti contohnya pada pasal 49 ayat 1 tentang penyelenggaraan anggaran pendidikan.

Terkesan seadanya karena upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar. Sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam tidak dikelola secara profesional, dan upaya pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam seringkali hanya sebagian, atau tidak komprehensif dan menyeluruh.(Sanaky 2000, 9).

Namun, secara umum kedudukan agama (pendidikan agama) dalam UU Sisdiknas tahun 2003 bisa dilihat. Pembinaan yang ketat sangat penting untuk kualitas masyarakat dan persekolahan, sesuai beberapa pasal. Kemampuan siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia, dan kepribadian muslim (khususnya Islam) sangat ditingkatkan dengan pendidikan agama. Contoh lembaga pendidikan berbasis masyarakat yang dapat didirikan oleh masyarakat berdasarkan karakteristik agamanya masing-masing seperti madrasah diniyah Muhammadiyah (MDM), al-Ma’arif, dan lain-lain.

Abdur Rahman Assegaf mengatakan bahwa Pendidikan agama setelah diwajibkan di sekolah walaupun perlu penyempurnaan secara terus menerus lebih berpengaruh pada perilaku remaja dibandingkan dengan kondisi sebelum diwajibkan.

Menurut Abdur Rahman Assegaf, ketika pendidikan agama diamanatkan di sekolah, dampaknya lebih besar pada perilaku remaja daripada ketika tidak diamanatkan.

Menurut M. Arifin, ini masih perlu diperbaiki terus. Pendidikan agama mungkin setidaknya dapat menanamkan iman, yang dapat mencegah remaja melakukan hal-hal buruk atau bahkan mendorong mereka untuk bertingkah laku sesuai dengan keyakinan agama mereka.(Assegaf 2007, 146) Hasil penelitian Miftah Baidlowi di sekolah-sekolah di Kabupaten Sleman, antara lain, menunjukkan bahwa pendidikan agama di sekolah sangat membantu siswa mengamalkan nilai-nilai keagamaan.(Baidlowi 2000).

Dilihat dari semua Pasal UU Sisdiknas 2003 di atas, jelas bahwa pendidikan agama memiliki peran yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih berfokus pada membantu siswa mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan perilaku dan akhlak mulia. Namun, sistem pendidikan Indonesia masih goyah, terbukti dengan masih adanya sebagian masyarakat yang memandang pendidikan agama sebagai pendidikan menengah dan lembaga pendidikan agama Islam belum berjalan dengan baik. Salah satu alasannya adalah lembaga pendidikan Islam yang dijamin oleh undang-undang negara dan berlandaskan agama yang kokoh harus memperbaiki dan meningkatkan standar pendidikan agar menjadi lembaga layanan publik yang dijunjung tinggi oleh mayoritas penduduk muslim Indonesia.

Di Indonesia, terjadi dualisme persekolahan (umum dan agama) sejak kolonialisme Belanda menyajikan sistem sekolah yang sekuler, sementara pendidikan Islam di pesantren tidak terfokus pada Pendidikan-pendidikan yang umum. Sampai Indonesia merdeka, bangsa ini sebenarnya memperoleh sistem sekolah dualistik ini menjelang awal otonominya.

Pendidikan Islam di Indonesia telah menghadapi banyak persoalan dan kontras selama sejarahnya yang panjang, mulai dari masa perintisan hingga kemerdekaan Indonesia. Kurikulum, tujuan, sumber daya, dan manajemen pendidikan Islam adalah contohnya.

Azyumardi Azra mengklaim bahwa UU Sisdiknas tahun 2003 mencerminkan pendidikan Islam, meskipun pemerintah belum merealisasikan beberapa Pasalnya, seperti Pasal 49 ayat 1.(Azra 1999, 59) Bagian pertama Pasal 49 menyatakan bahwa selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dana untuk pendidikan harus dialokasikan setidaknya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan setidaknya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Menurut Huzair Sanaky, komitmen pemerintah untuk menyusun Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 menunjukkan upaya mereka untuk meningkatkan pendidikan Islam di Indonesia, namun tidak ada perubahan mendasar yang membuatnya tampak seadanya. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional tahun 2013 menunjukkan bahwa upaya untuk mengubah dan mengembangkan pendidikan Islam lebih jauh berkali-kali dibatasi dan tidak menyeluruh, dan sebagian besar organisasi dan kerangka pendidikan Islam tidak diawasi secara ahli.(Sanaky 2004, 9).

Pendidikan agama Islam baik secara langsung maupun tidak langsung diatur oleh hukum Indonesia. Di lembaga pendidikan formal, ini dapat berfungsi sebagai panduan untuk pengajaran. Sesuai dengan Peraturan Sistem Persekolahan Umum tahun 2003.Pendidikan yang berakar pada nilai-nilai agama, budaya, dan kebangsaan Indonesia, tanggap terhadap perkembangan zaman, serta berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional, di sisi lain, merupakan seluruh komponen pendidikan yang terkait secara harmonis untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Secara global, sistem pendidikan nasional beroperasi, yang berarti semua siswa dapat mengaksesnya. Menyeluruh berarti mencakup semua jalur, jenjang, dan bentuk pendidikan. Pendidikan nasional dan seluruh usaha pembangunan nasional saling berhubungan, yang berarti terpadu. Menurut Daulay (2012:12), untuk meletakkan kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama harus diklasifikasikan sebagai lembaga. Lembaga ini dapat berupa lembaga formal, nonformal, informal, dan keagamaan.

  1. Lembaga Pendidikan Formal terdiri dari :

    1. Sekolah usia dini; Pada pendidikan anak usia dini, pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang disamakan.
    2. Pendidikan dasar; pendidikan formal dalam pendidikan dasar seperti Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), serta struktur lain yang identik. Serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau yang serupa lainnya.
    3. Pendikan menengah; Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan/atau bentuk lain yang sederajat merupakan contoh pendidikan formal pada pendidikan menengah.
    4. Pendidikan tinggi; Pendidikan formal dalam pendidikan lanjutan dapat muncul sebagai Yayasan, Politeknik, Sekolah tinggi, institute dan universitas.
  2. Lembaga pendidikan yang tidak formal, seperti: yayasan kursus, Lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majlis ta’lim, dan satuan Pendidikan sejenis.
  3. Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan informal, serta kegiatan belajar mandiri yang berbentuk pendidikan keluarga dan lingkungan.
  4. Lembaga pendidikan keagamaan terdiri dari :
    1. Sekolah keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah maupun kelompok masyarakat tertentu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
    2. Tujuan pendidikan agama adalah menyiapkan peserta didik menjadi ahli agama atau anggota masyarakat yang memahami dan menerapkan nilai-nilai ajaran agama.
    3. Jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan pilihan bagi penyelenggaraan pendidikan agama.
    4. Pendidikan keagamaan seperti pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, serta Pendidikan yang lain yang sejenis.(Sakir 2016)