Pendidikan Karakter melalui Kearifan Budaya Lokal

Penulis : Aidul Azhari Harahap (2250100040)
 

Pendidikan karakter menjadi salah satu program pendidikan nasional yang telah dipaparkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan karakter bukan suatu hal yang baru dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia karena telah dilakukan dan dirancang sejak dulu. Hal ini terlihat dari program dari pendidikan Indonesia sejak KTSP, K-13, hingga Kurikulum Merdeka atau jauh sebelum itu mungkin telah menjadi pusat bagi pelaksanaan program pendidikan karakter di Indonesia. Masalah pelaksanaan pendidikan karakter dalam setiap proses pembelajaran di lembaga pendidikan karena maraknya perilaku yang tidak mencerminkan pelaku pelajar mulai dari tidak jujurnya perbuatan, tidak saling adanya hormat dan mengarhargai, melakukan perlawanan tanpa alasan yang jelas kepada orang yang lebih tua dan lain sebagainya.

Begitu pula dengan banyaknya para pejabat negara dan daerah yang selalu melakukan penyelewengan terhadap jabatannya, ditemukannya para guru yang berbuat asusila kepada muridnya, dan masalah lainnya. Hal ini menjadi bentuk dari kurangnya penerapan pendidikan karakter dalam pendidikan di Indonesia sehingga banyak ditemukan berbagai elemen mayarakat dan pemangku jabatan, atau penutan masyarakat yang tidak mencerminkan perilaku yang baik. Menurut Prof. Dr. Haidar Putra Daulay dalam bukunya “Pendidikan Karakter”, bahwa salah satu bentuk pelaksanaan pendidikan karakter dapat diterapkan dengan kearifan budaya lokal. Karena budaya menjadi salah satu bentuk pendidikan langsung sejak zaman dahulu kala bagi manusia dalam menghasilkan peradaban dan kemajuan.

Kearifan budaya lokal dapat dipahami sebagai perilaku atau kebiasaan masyarakat yang menjadi pandangan hidupnya atau telah menjadi pedoman dalam setiap perilaku masyarakatnya. Menurut Abd. Choliq bahwa: Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsentrasikan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat “local genius”. Sains modern dianggap memanipulasi alam dan kebudayaan dengan mengobyektifkan semua kehidupan alamiah dan batiniah dengan akibat hilangnya unsur “nilai” dan “moralitas”. Sains modern menganggap unsur “nilai” dan “moralitas” sebagai unsur yang tidak relevan untuk memahami ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, kearifan budaya lokal dipahami sebagai sebuah perilaku masyarakat yang telah dilokalisasi sebagai pedoman berperilaku dalam setiap perilaku kehidupan bermasyarakatnya. Setiap budaya mempunyai ciri khas dan latarnya masing-masing yang memberikan gambaran bahwa itu adalah perilaku mereka, budaya mereka dan adat istiadat mereka. Misalnya adalah budaya martarombo yang telah menjadi warisan leluhur orang Batak sebagai bentuk upaya dalam mencari benang merah ikatan darah pada diri setiap masyaralat Batak, baik itu yang dalam perantauan atau tidak.

Mengingat kembali pentingnya pendidikan karakter melalui kearifan budaya lokal, mesti dipahami bahwa unsur penting dari pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 terdapat 18 point penting yaitu sikap religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli terhadap lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Kemudian, di dalam kurikulum merdeka dipoles menjadi 6 point yaitu sikap beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebinekaan global gotong royong dan mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Kearifan budaya lokal masyarakat Angkola telah memberikan gambaran terkait penerapan pendidikan karakter dalam budayanya, misalnya dengan falsafah masyarakat “Poda Na Lima”, sebagai sistem pembentukan diri yang lebih mandiri, berakhlak mulia, dan kreatif, “Dalihan Na Tolu” yang memberikan cerminan tentang gotong royong, komunikatif, pduli dan tanggung jawab. Hal itu tercermin dalam kearifan budaya lokal masyarakat Angkola.

Gambaran itu memberikan makna bahwa dengan budaya lokal masyarakat Angkola yang kreatif dan bijaksana akan tercapai pola pendidikan karakter di dalam masyarakatnya. Selain itu, didalam lingkungan masyarakat Angkola secara khusus memiliki falsafah bahwa anak itu adalah milik semua dan tanggung jawab masyarakat dalam membimbing dan memeliharanya dengan kalimat legendarisnya adalah “sa boru sa anak, pas songon na samudar”, hal ini menjadi bentuk peduli terhadap sesama masyarakat dalam mendidik anak-anaknya agar tetap dalam koridor dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar adat budaya atau agama.

Banyak hal yang telah memberikan budaya lokal Angkola sebagai bentuk pendidikan karakter di dalam masyarakat, salah satunya adalah dengan pemaparan hasil penelitian Izuddinsyah dan Salmah bahwa Poda Na Lima telah memberikan gambaran terhadap pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, masyarakat, dan keluarga karena memiliki falsafah yang terdiri dari paias rohamu, paias pamatangmu, paias parabitonmu, paias bagasmu, dan paias pakaranganmu. Menurut Muhammad Novriansyah bahwa bentuk penghayatan terhadap budaya lokal dapat mencerminkan pola pendidikan karakter pada peserta didik, hal ini dapat dilihat dari polarisasi Dalihan Na Tolu yang mempunyai kontrol kehidupan sosial masyarakat Angkola karena di dalam Dalihan Na Tolu tercermin sistem kekerabatan dan kepeduliaan antar sesama masuyarakat yang terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru. Ketiganya mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat.

Begitu pula dalam adat budaya “Endeng-Endeng” yang mempunyai nilai dan pendidikan karakter yang memiliki point-point tata karma, nasehat hidup, dan tata cara pergaulan.5 Sehingga demikian, dapat dipahami begitu kuat dan strategisnya pendidikan karakter melalui kearifan budaya lokal untuk menciptakan generasi yang berkarakter dan sebagai upaya penguatan terhadap “kebhinekaan” dalam diri masyarakat Indonesia. Selain itu, kebiasaan yang seakan-akan mulai tersisir adalah kebiasaan “Martarombo” yang biasanya dilakukan masyarakat Batak Angkola sebagai upaya dalam penguatan hubungan kekeluargaan atau tali persaudaraan. Hal ini dapat menciptakan pendidikan karakter kuat dalam generasi bangsa yang memiliki budaya kuat dalam dirinya dan menjadi ciri khas dalam dirinya.