Dakwah Responsif Gender

UINSyahadaPsp —– Diskusi dosen menawarkan konsep dakwah yang responsif terhadap isu gender. Kali ini, narasumber Icol Dianto (Dr. S.Sos.I., M.Kom.I) mempresentasikan risetnya tentang gender dalam acara diskusi dosen yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan, di Aula Pascasarjana, Rabu (17/5/2023).
Hadir dalam kegiatan ilmiah itu, Wakil Direktur Pascasarjana Dr. Zulhimma, M.Pd, dan dimoderatori oleh Dr. Suheri Rangkuti, M.Pd., serta dihadiri oleh Ketua Program Studi dan para dosen di lingkungan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary (UIN Syahada) Padangsidimpuan. Dalam kesempatan itu, Dosen yang didaulat sebagai Ketua Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam itu mengangkat tema tentang “Dakwah Responsif Gender.”
“Tema hari ini, Dakwah responsif gender. Tema ini saya angkat dari riset saya terhadap mahasiswa. Saya berupaya mendalami bagaimana respon mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) UIN Syahada terhadap isu gender,” ucap Dr. Icol.
Dakwah yang responsif gender merupakan dakwah yang mampu menghadirkan ruang layak gender di segala setting/tempat dan usia, sehingga tercipta kenyamanan bagi perempuan. Dakwah yang mendorong terwujudnya keadilan gender, menolak diskriminasi gender, dan menghilangkan ketimpangan gender. Oleh karena itu, dakwah responsif gender mengupayakan adanya kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan dalam semua dimensi kehidupan (gender yang multidimensional).
Mengingat hasil penelitian itu menemukan bahwa masih rendahnya perhatian mahasiswa FDIK terhadap isu gender, terutama kepekaan mahasiswa mengangkat isu gender ke dalam karya ilmiah skripsinya. Dari 500 lebih skripsi yang diteliti, sejak tahun 2018 sampai 2022, hanya 18 skripsi saja yang memuat kata gender. “Sangat signifikan temuan ini, 500 skripsi yang saya jadikan sampel, itu 18 skripsi memuat kata gender, dan hanya dua skripsi saja yang menjadikan gender itu sebagai subbab pembahasan skripsinya,” jelas dosen yang berhomebase di Prodi PMI itu.
Kalau ditinjau aspek sejarah, gerakan gender itu dipropagandakan oleh akademisi. Akademisi melalui narasi-narasi besar yang dibangunnya, telah memicu makin kuatnya gerakan gender. Dalam tradisi gereja, sejarah mencatat bahwa pertengahan abad ke-19, di Amerika muncul gerakan gender. Pendeta wanita menuntut hak-hak mereka untuk menjadi pengkhotbah. Gerakan gender ini meluas ke Afrika dan Inggris. “Setiap agama dan budaya muncul aktor-aktor yang menyuarakan keadilan gender dan antidiskriminasi gender. Islampun sebenarnya mendukung kesetaraan gender itu,” papar penulis integrasi ilmu dakwah dengan social work di PTKI itu.
Al-Quran menyatakan dengan tegas bahwa takwa menjadi pembeda manusia, bukan jenis kelamin. Menurut Dianto, ada kesalahan menginterpretasi (memahami) ayat Arrijalu qawamun ‘ala nisa’ sehingga beberapa orang beranggapan laki-laki lebih hebat dari wanita karena itu laki-laki pemimpin wanita. Qawamu diartikan pemimpin (hanya itu), padahal yang namanya penafsiran tentu bisa saja qawamu itu bisa dipahami sebagai pelindung, pengayom, yang merawat, yang memelihara. “Banyak dalil-dalil dalam Al-Quran dan Hadis yang ditafsirkan menguntungkan dan memperkuat dominasi laki-laki terhadap perempuan. Inilah mengapa para aktivis gender dari Islam menyuarakan untuk menafsir ulang dalil-dalil yang mengokohkan kuasa laki-laki. Tentu soal tafsir, bisa diskusi panjang, saya yakin tidak semua orang sependapat. Akan tetapi, mengapa kita tidak mengutamakan penafsiran yang mendorong terwujudnya keadilan, termasuk keadilan gender,” pungkasnya.
Kembali pada persoalan riset, narasumber tunggal dalam acara diskusi dosen itu menyebutkan bahwa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) mestinya menjadi garda depan untuk mengampanyekan isu-isu gender. Oleh karena itu, dia merekomendasikan agenda untuk praktis dan agenda untuk riset di masa mendatang. Untuk praktis, FDIK mesti mendorong terbentuknya lembaga non profit yang akan bergerak menyuarakan pengarus utama gender. Lembaga non profit, bisa berbentu Non-Govermantal Organisation (NGO) yang akan mewadahi mahasiswa untuk praktik yang akan berkonsentrasi pada masalah-masalah yang disebabkan oleh gender. “Kekerasan berbasis gender (KBG) yang sering dialami oleh perempuan, hal ini tepat untuk menjadi salah satu fokus dari FDIK,” jelas Lulusan S3 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Selain itu, agenda untuk riset berkaitan dengan peluang-peluang penelitian yang dapat dikerjakan oleh civitas akademika FDIK, baik mahasiswa maupun dosen. “Dosen dan mahasiswa FDIK mesti banyak mendiskusikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh bias gender ini, dan mengangkatnya dalam penelitian,” tutupnya.
Pada kesempatan itu, Wakil Direktur Pasacasarjana Dr. Zulhimma, M.Pd mengapresiasi tema yang diangkat oleh narasumber. Menurutnya, persoalan gender memang menjadi salah satu isu strategis nasional termasuk dalam agenda riset keagamaan. Gender yang multidimensi, semua aspek kehidupan manusia, terutama perempuan, dapat dikaji dengan perspektif gender ini,” tambah Wadir Zulhimma.
Selain itu, Dr. Utary Evy Cahyani juga menimpali bahwa sebenarnya masalah gender tidak hanya menjadi tanggung jawab FDIK, namun karena gender itu multidimensi, terutama yang berkaitan dengan persoalan ekonomi dan gender, maka civitas akademika FEBI juga penting untuk berkontribusi. “Saya pikir, kita dosen harus memulai untuk berkonsentrasi dalam riset gender ini, nanti mahasiswa bisa mengikuti jejak dosennya atau dibimbing oleh dosennya,” ungkap Kaprodi Ekonomi Syariah Program Magister Pascasarjana itu.
Peserta yang lain, Ibu Darmina Dalimunte, dari FASIH juga meratifikasi bahwa penting untuk melakukan riset tentang gender ini yang lebih beragam. “Kami sering lupa dengan isu gender ini, karena tidak didalami dengan penelitian. Padahal, isu gender ini sangat penting untuk mengangkat martabat perempuan,” katanya.
Terakhir, Dr. Suheri pun bercerita tentang pengalamannya melakukan penelitian gender di budaya Mandailing. “Sebenarnya bukan budaya yang salah, tetapi pilihan. Duduk di kedai kopi adalah pilihan kaum bapak, sedangkan bercocok tanam di sawah atau berkebun adalah pilihan kaum ibu. Bukan karena jenis kelamin laki-laki lantas duduk mengopi di lopo (warung kopi-red), dan bukan pula karena jenis kelamin perempuan yang mengharuskan kaum ibu bercocok tanam di sawah,” terangnya.
Akhirnya, diskusi ditutup dengan kesamaan persepsi bahwa universitas kita, UIN Syahada Padangsidimpuan, mesti responsif gender juga. Konsensus pengarus utama gender tersebut dapat Dimotori oleh PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) LPPM UIN Syahada Padangsidimpuan. Dengan demikian, kata dakwah pada “dakwah responsif gender” dipahami sebagai dakwah yang merujuk kepada aktivitas keagamaan (dakwah praktis), dan satunya lagi kata dakwah merujuk kepada dakwah institusional yaitu dakwah sebagai institusi pendidikan. ***