Penulis : Miskah (2250300017)
Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun dalam Bab II Kompilasi Hukum Islam (KHI) pengertian pekawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Pasal 3
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”
Pengertian-pengertian di atas mendeskripsikan makna pernikahan secara eksplisit yang terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an benar-benar memperhatikan masalah perkawinan dengan menerangkan hubungan rohani dan jasmani antara suami istri dan menerangkan bahwa diantara keduanya terdapat ikatan yang sangat erat sekali (mitsaqan ghalidzan) yang membawa keduanya kepada kasih sayang serta dengan izin Allah akan menjaganya dari kedurhakaan dan permusuhan.
Konsekuensi logis dari adanya ikatan antara suami-istri tersebut adalah timbulnya hak dan kewajiban di antara keduanya yaitu hak istri untuk dipenuhi oleh suami dan sebaliknya, serta hak bersama yang harus ditanggung bersama. Bila hak dan kewajiban yang ada dalam rumah tangga terpenuhi sesuai porsinya masing-masing maka akan tercipta keluarga yang baik serta harmonis dan sebaliknya apabila hak dan kewajiban tidak terlaksanakan oleh suami atau istri, maka akan menumbuhkan konflik yang dapat merongrong stabilitas keluarga tersebut. Al-Qur’an tidak saja menetapkan peraturan untuk melindungi keluarga dalam arti menjamin keselamatan dan kelestarian saja, tetapi Al-Qur’an juga menerapkan peraturan-peraturan lainnya yang merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan secara tuntas dari segala persoalan hidup atau konflik dalam keluarga.
Konflik suami istri menurut penjelasan Al-Qur’an disebut dengan nusyuz yang secara umum mempunyai pengertian perubahan sikap salah seorang diantara suami- istri, nusyuz dari pihak suami terhadap istrinya adalah dari yang selama ini bersifat lembut dan penuh ramah dan bermuka manis berubah sikap acuh dan bermuka masam atau menentang, dari pihak istri biasanya berbentuk ditinggalkannya kewajiban sebagai istri, di samping itu menunjukkan sikap-sikap tidak patuh seperti yang telah disebutkan.
Jika sikap itu muncul dari pihak istri, maka Allah telah memberikan jalan keluar yang baik dengan firman-Nya dalam QS An-Nisa/4: 34 “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Tafsirnya :
Untuk memberi pelajaran kepada istri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Sedangkan jika nusyuz itu datang dari pihak suami, maka Allah memberikan penjelasan dengan firmannya dalam QS An-Nisa/4: 128 “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsirnya :
Tabi’at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, kendatipun demikian jika istri melepaskan sebahagian hak-haknya, maka boleh suami menerimanya. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ada perbedaan penyelesaian yang diberikan Al-Qur’an terhadap nusyuz yang dilakukan oleh suami dan istri, jika muncul dari pihak istri, maka mereka bisa dinasehati, pemisahan tempat tidur, dan dipukul dengan pukulan yang tidak menyiksa dan tidak membuatnya terluka, sedangkan jika nusyuz itu dari pihak suami ada kecenderungan toleransi istri terhadap suami dalam melepaskan beberapa haknya yang semestinya ia terima.
Perbedaan penyelesaian nusyuz bukan saja terletak pada pelaku nusyuz itu, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an melainkan terdapat juga perbedaan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam tentang nusyuz dan cara menyelesaikannya. Secara garis besar perbuatan nusyuz dalam KHI hanya diisbatkan kepada sang istri tidak pada suami dan cara penyelesaiannya pun dengan jalan tidak memberikan nafkah berupa uang maupun pakaian serta biaya perawatan dan pengobatan kepada istri sebagaimana dalam Pasal 7 dan Pasal 84 ayat (2) KHI. Selanjutnya suami dalam Pasal 77 ayat (5) dan Pasal 149 huruf (b) KHI berhak menjadikan nusyuz yang dilakukan istri sebagai alasan permohonan talak di Pengadilan Agama.
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam buku Tafsir Jalalain menyatakan bahwa sikap nusyuz dari suami terhadap istrinya ialah sikap tak acuh hingga berpisah ranjang darinya dan melalaikan pemberian nafkahnya, itu terjadi adakalanya karena marah atau karena matanya terpikat kepada wanita yang lebih cantik dari istrinya.
Johari dalam tesisnya tentang “Ayat-ayat Nusyuz: Tinjauan Psikalogik Pedagokik” mengungkapkan bahwa konflik yang ditimbulkan baik dari istri ataupun suami atau bersamaan antara keduanya, mempunyai mauzi’ah (nasehat yang baik) dilihat dari cara penyelesaian di mana jika konflik itu timbul dari pihak istri yang mempunyai tahapan-tahapan solusi untuk memberi islah yang dianalogikan dengan metode Al-Qur’an dalam memberantas khamr dan riba. Adapun yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menghadapi nusyuz suami adalah islah yang dianalogikan dengan metode dialog dan apabila konflik itu muncul bersamaan di antara keduanya, maka solusi Al-Qur’an adalah tahkim (arbitrase), ia mengambil prinsip musyawarah yang dianalogikan dengan metode diskusi yang mempunyai implikasi perlu adanya bimbingan dan konseling Islam.