Penulis : Hamka Harahap (2250100003)
Era kini dimana industri sudah berlabel 5.0, maka ia memiliki potensi manfaat yang besar sekaligus mengandung tantangan besar. Andai tidak bijak menghadapi, maka akan menjadi ancaman serius bagi manusia. Dengan Manusia kian dimudahkan oleh teknologi, maka pikirannya menjadi serba instan, dengan begitu karakter manusia semakin tergerus oleh zaman. Sehingga era industri 5.0 menjadi disruption/ problem manusia yang tidak bijak dalam menghadapi era ini.(Lubis et al., 2019) Dengan mudahnya akses internet, Banyak tontonan yang tidak layak menjadi tuntunan bagi masyarakat khususnya peserta didik yang masih mencari jati diri, hampir semua sibuk dengan handphone masing-masing karena ingin meng ekspresikan dirinya di sosial media. Dengan begitu handphone dengan akses internet lebih di Tuhankan daripada tuhannya, guru yang harusnya di hormati dalam pendidikan menjadi teman tanpa batas, akhirnya tidak ada sopan santun yang tertanam dalam peserta didik, (Tambunan, 2018).
Wilayah Sumatera Utara bisa menjadi sebuah potensi kerusuhan rasial di dalam masyrakat. Suku, budaya dan agama di sumatera utara sangatlah banyak. Agama yang di anut juga beragam ada Islam, Kristen, Hindu, Budha dan juga Konghuchu. Keberagaman ini bisa menjadi potensi perang suku dan agama yang ada di sumatera utara. Oleh karena itu Kebudayaan dan pendidikan menjadikan suatu upaya baru dalam membentuk karakter siswa melalui penanaman nilai-nilai kearifan local dalihan na tolu.(Hidayat, 2020) Perpres No 87 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karekter semakin memperjelas bagaimana masyrakat, budaya dan pendidikan berkordinasi untuk membangun sumber daya manusia (SDM) yang mempunyai karakter dan siap untuk membangun generasi emas 2045.(Butarbutar et al., 2020).
Pembentukan Karakter dengan Budaya Dalihan Natolu
Nilai budaya merupakan nilai yang melekat pada masyarakat yang berguna untuk mengatur keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan. Dalam hal itu sosialisasi adalah ketika anggota masyarakat baru mempelajari norma dan nilai masyarakat baru mereka. Sosialisasi nilai-nilai budaya natolu dimulai dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu mengenalkan budaya daerah kepada anak-anaknya, seperti perilaku yang baik, berbicara dengan sopan, dan menghormati orang lain.(Tambunan, 2018) Nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga kemudian berlanjut dalam kehidupan anak di lembaga pendidikan. Semua pemangku kepentingan sekolah bertanggung jawab untuk mensosialisasikan nilai-nilai budaya kepada pelajar. Di sisi lain, peran masyarakat adat juga turut serta dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya nya. Filosofi Dalihan Na Tolu menjadi suatu ikatan. Ini adalah ikatan kekeluargaan dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap sosialisasi nilai-nilai budaya.(Sinaga, 2017).
Nilai-nilai budaya dalihan natolu seperti halnya di Mandailing dan Angkola disosialisasikan melalui upacara adat: perkawinan, kematian, dan tradisi seremonial. Mereka sangat aktif dalam mengelola kehidupan sosial melalui pendidikan Islam, baik secara formal melalui sekolah atau madrasah (pesantren) maupun pendidikan informal/nonformal melalui pengajaran, ceramah, kegiatan sosial keagamaan, kegiatan ormas, dan politik praktis. Secara umum, ajaran Islam yang dikembangkan oleh para ulama karismatik bertumpu pada fiqh (syariah), dimana ajaran tersebut menyaring banyak norma sosial (tradisi) di masyarakat.
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Suku Mandailing dan Angkola dalam proses sosialisasi, diantaranya:(Fitriani, 2018).
Pendidikan Proses pendidikan yang telah dilakukan oleh masyarakat Mandailing dan Angkola dalam pembentukan karakter, meliputi (1) pengenalan, pengajaran, dan pelestarian nilai-nilai budaya melalui keluarga; (2) pengajaran, penanaman, dan melanjutkan serta mengembangkan nilai-nilai budaya keluarga melalui sekolah/madrasah; dan (3) pengenalan, pengajaran, dan penanaman nilai-nilai budaya pada masyarakat melalui berbagai acara adat.
Motivasi. Motivasi bertujuan agar orang yang termotivasi mematuhi atau melaksanakan apa yang dimotivasi. Selain diberikan kepada individu, individu juga dapat memotivasi kelompok, antar kelompok ke kelompok, dan kelompok ke individu. Orang tua, guru, dan tokoh masyarakat harus menjadi pelopor dalam memotivasi anak-anak agar menjadi generasi penerus yang berkarakter. Dorongan dari berbagai pihak kepada anak untuk berperilaku baik niscaya akan berpengaruh pada perkembangan karakter anak.
Di sisi lain, ikatan Dalihan Na Tolu memiliki peran yang sangat besar dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Mandailing dan Angkola. Sebagai sistem kekerabatan, Dalihan Na Tolu digunakan sebagai pedoman untuk berkomunikasi (berbicara), bertindak, dan menyelesaikan masalah sosial. Pada saat yang sama, Islam sebagai agama yang dianut masyarakat Tapanuli Selatan juga menjadi norma kehidupan. Meskipun kedua sistem tersebut adalah cara hidup, penggunaan dan praktiknya berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Suku Mandailing lebih longgar terhadap nilai-nilai tradisional dibanding suku Angkola yang relatif patuh pada nilai-nilai tradisional. Dengan demikian, akan terjadi interaksi dan interdependensi antara tradisi dan Islam, baik disadari, disengaja maupun tidak dalam kehidupan masyarakat.(Sihombing, 2018).