Sabtu, 23 November 2024 Pascasarjana UIN Syahada Padangsidimpuan
Telepon
(0634) 22080
E-Mail
pascasarjana@uinsyahada.ac.id
Alamat
Jl. T. Rizal Nurdin, Km. 4,5 Sihitang, Padangsidimpuan
Urgensi Pendidikan Islam sebagai Perekat di Tahun Politik – Pascasarjana UIN Syahada Padangsidimpuan

Urgensi Pendidikan Islam sebagai Perekat di Tahun Politik

Penulis : Taupiq Hidayat (2250100061)
 

Tahun 2024 merupakan tahun politik, dimana pada tahun tersebut akan diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak seluruh Indonesia, yaitu pemilihan presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tentu hal demikian sangat hangat untuk diperbincangkan. Terutama mengenai apakah ada hubungan antara Islam dan politik? Serta bagaimana implikasi Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap politik?.

Dari segi bahasa Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, damai, dan sentosa. Kemudian diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian, yang juga memiliki arti menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Sementara pengertian Islam dari segi istilah menurut Harun Nasution dengan mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama yang ajaran- ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Islam merupakan agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum Muslim/umat Islam) untuk menebarkan keselamatan dan kedamaian, antara lain tercermin dalam bacaan shalat sebagai ibadah yakni ucapan salam yang mempunyai arti semoga keselamatan dan kasih sayang diberikan kepadamu. Sementara dalam Islam sendiri Istilah politik dikenal dengan siyasah. Kata siyasah secara harfiah memiliki arti: pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasaan, dan arti lain-lainnya.

Harun, H. dalam jurnalnya yang berjudul Revitalisasi Peran Politik Umat: Urgensi Integrasi Islam dan Politik dalam Realitas Bernegara, mengutip pendapat Al-Ghazali yang menungkapkan bahwa agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan roboh dan yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Ungkapan ini sinkron dengan pendapat Hasan al-Banna yang menyatakan bahwa tidak ada kebaikan dalam agama jika menegasikan politik, dan tidak ada kebaikan dalam politik jika meninggalkan agama. Tentu pernyataan al-Banna tersebut merupakan konklusi dari pemahaman keagamaan yang integral. Baginya, keberagamaan yang benar dan tepat adalah jika agama selalu menjadi mahaguru dan tujuan berpolitik.

Azryumardi Azra berpendapat ada tiga bentuk hubungan agama dengan politik, Pertama, pemisahan antara agama dan politik dan bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly-secularism) seperti turki; Kedua, pemisahan yang disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (Religiously Friendly Ideology), seperti Indonesia. Bisa juga disebut sebagai bentuk akomodasi antara negara dan agama; Ketiga, penyatuan agama dengan negara seperti Arab Saudi, yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.

Berdasarkan klasifikasi di atas secara umum Indonesia dalam hubungan Islam dan politik, berada pada poin kedua yaitu pemisahan yang disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously Friendly Ideology). Artinya falsafah dan prinsip bernegara yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 sampai dengan turunannyalah yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh sebab itu, pemahaman di atas segaris lurus dengan sikap Islam yang menolak dualisme dan pemisahan agama dengan kekuasaan. Islam tidak mengenal parsialitas ruang antara kerohanian (ruhiyah) yang hanya berkutat dengan urusan-urusan keagamaan dan ruang temporal yang hanya diurus oleh politik. Sehingga menjadi kelaziman bagi seorang Muslim untuk mengagamakan politik, dalam arti menjadikan politik sebagai kuda dalam mewujudkan ajaran agama, bukan justru sebaliknya, menjadikan politik sebagai agama yang segalanya dipolitisasi sesuai selera, termasuk dogma agama. Jika itu yang yang terjadi, maka akhirnya kita hanya menyaksikan drama politik ‘iblis’ yang berjubah agamawan atau agamawan yang berhati ‘iblis’.

Simpulan dari tulisan ini menekankan bahwa politik dan Islam, ialah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan untuk membangun negara. Artinya bahwa, sebagai umat Islam berpolitik bukanlah sesutu yang harus dihindari. Sebenarnya, dengan berpolitik dapat memberikan ruang untuk berkembangnya umat Islam. Dalam tahun politik ini, agama dan suku selalu menjadi isu paling sensitive sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Keduanya tidak jarang dijadikan alat politik untuk meraih dukungan. Oleh karena itu, PAI mempunyai peranan penting dalam tahun politik ini, yakni di antaranya dapat membentuk masyarakat yang saling menghormati, menjaga kerukunan, meski preferensi politik masyarakat berbeda-beda, sebagaimana berpolitik yang sesuai dengan agama Islam melalui pendidikan agama yang didapat dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.